Hari raya di ranah rantau. Ini tahun kedua di mana aku menjalani hari raya Idul Adha tanpa orang tua di sampingku. Tanpa bersama fisik mereka (ya,meski mereka jauh secara fisik, tp mereka selalu ada di hatiku). Sedih? jelas, karena di tanggal yang sama, dua tahun yang lalu aku mengungkapkan perasaanku kepada wanita yang kini tak lagi di sisiku. Eh, bukan, maksudku sedih karena jauh dari orang tua. Sepi? tidak, karena di sini, di tempatku merantau, juga ada banyak anak rantau. Kami senasib. Selain itu, penduduk lokal pun begitu ramah. Ini salah satu yang membuat ranah rantauku begitu istimewa, penduduknya ramah-ramah, membuatku betah untuk tinggal di sini. Jogja istimewa, istimewa di hatiku :) .
Jauh dari orang tua memang bukan hal yang baru bagiku karena sewaktu SMA, aku sudah sekolah di sekolah yang berasrama. Jarak sekolahku dengan tempat tinggalku itu sekitar 7 jam. Lama sekali. Tapi untuk melewati hari raya, seperti Idul Adha tanpa orang tua, merupakan hal yang baru bagiku. Meski ini sudah tahun kedua, tetap saja aku merasa ada yang kurang. Kurang makan, kurang uang, kurang kerjaan hingga kurang kehadiran mantan. Kurang belaian ortu pokokny. Terutama masakanny yang luar angkasa enak. Lebih enak dari restauran bintang kejora alias bintang kejora. Di rantauanku, cuma bisa makan apa yang ada, gak bisa sesuai selera. Klo gak mau ya, harus mau. Daripada gak makan. Dan klo Idul Adha kayak gini, warung makan bukanya agak siangan. Jadi, dengan hati yang ikhlas namun peruk yang terpaksa, mau gak mau harus nahan lapar hingga siang.
Idul Adha di ranah rantau, bagiku biasa saja. Tak ada yang istimewa. Mungkin karena rasa sepi jauh dari ortu yang membuatnya biasa saja. Hampir tak ada beda. Bedanya hanya, berkah yang diberikan saat Idul Adha itu lebih besar :'D . Aku hanya mengurung diri di kamar kos yang rapi. Jalanan pun ku rasa sepi, seperti hatiku yang saat tak kunjung mendapat pasangan. Sakingnya sepinya, aku tadi telat sholat Ied. Pas dateng, imam udah selesai baca Al-Fatihah rakaat pertama. Kasian, ya?
Sebenarnya sih gak biasa, hanya aku saja yang merasa biasa. Tadi malam ada lomba takbir antar TPA se........ aku juga gak tahu se-daerah mana. Pesertanya unyu-unyu, sekitar umur 7 - 14 tahun. Tapi mereka kreatif loh. Ada yang bawa keranda mayat. Eh, bukan, tapi miniatur Al-Quran yang terbuat dari gabus. Ada pula yang memainkan gamelan. Keren. Gak nyangka klo mereka itu anak orang, aku kira mereka itu anak rantau. Klo anak rantau, pasti mereka lagi twitteran atau jalan-jalan. Separah-parahnya nangis karena kangen mantan, eh, kangen ortu maksudnya.
Takbir menggema seantero Jogja. Merinding aku mendengarnya. Menambah rasa rindu kepada ortu. Hewan-hewan kurban ku rasa menitipkan doa kepada malaikat untuk orang-orang yang mau berbagi kepada sesama. Untuk orang-orang yang melewati hari ini dengan kedermawanan. Untuk orang-orang yang memuliakan hari nan akbar ini.
Jalanan di sekitar kos-ku cukup sepi. Bapak-bapak ada yang sedang sibuk memotong hewan kurban. Ibu-ibu ada yang sedang memasak. Pemuda-pemudi jomblo ada yang sedang bercinta dengan khayalan mereka akan daging-daging segar. Sedangkan yang pacaran? Aku tak tahu. Karena aku single.
Aku iri dengan mereka yang bisa berkumpul bersama keluarga. Aku iri dengan mereka yang bisa makan enak. Aku iri, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Menjadi anak rantau merupakan pilihanku demi meraih cita-cita. Mungkin ini pula kenapa orang tuaku memberiku nama gema. Karena mereka ingin aku menggema seperti takbir, dikenal di seantero negeri. Bukan hanya namaku, tapi semua nama yang senasib-seperantauan denganku pun, ingin menggema seperti takbir.
Takbir di ranah rantau, menggetarkan jiwa-jiwa perantau yang haus akan kasih sayang Sang Pencipta. Mengharapkan ridho-Nya dalam hidup di perantauan. Takbir di ranah rantau, menguatkan jiwa-jiwa perantau yang bersungguh-sungguh dalam menggapai mimpinya. Takbir di ranah rantau adalah oase bagi jiwa-jiwa perantau yang merasa gersang akan kasih-sayang Allah.
Ahhhhhh takbir di ranah rantau ini begitu menyejukkan. Semoga para anak rantau tidak menjadi rantauan anak tiri. Sekian.
*Gemo*
(Memang gak jelas apa yang aku tulis, tapi itulah yang ingin aku ceritakan. Yaaaa, apa adanya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar